Era persaingan global dan pusaran neo-liberalisme tidak bisa dibendung lagi dan melanda dunia pendidikan. Di jenjang pendidikan tinggi, mahasiswa di ebrbagai universitas terkemuka di Indonesia melakukan aksi menentang biaya tinggi pendidikan. Otonomi pendidikan tinggi membawa implikasi hak dan kewajiban Perguruan Tinggi negeri dan swasta untuk mengatur pengelolaannya sendiri termasuk mencari sumber-sumber pendapatan guna menghidupi diri. Konsekuensi logis dari otonomi kampus, saat ini Perguruan Tinggi seakan berlomba membuka program baru atau menjalankan strategi penjaringan mahasiswa baru untuk mendatangkan dana.Perdebatan antara antiotonomi dan pro-otonomi Perguruan Tinggi tidak akan berkesudahan dan mencapai titik temu. Kelompok yang menentang otonomi Perguruan Tinggi berpandangan negara harus bertanggung-jawab atas pendidikan dan menanggung pembiayaan Perguruan Tinggi negeri. Mereka mengkhawatirkan privatisasi Perguruan Tinggi akan menutup akses bagi calon mahasiswa dari kalangan tidak mampu dan fenomena komersialisasi ini justru akan menurunkan komitmen dan mutu pendidikan tinggi. Gejala McDonaldisasi pendidikan tinggi di Indonesia dianggap sebagai bagian dari gerakan neoliberalisme yang menjelma dalam kebijakan pasar bebas dan mendorong pemerintah untuk melakukan privatisasi berbagai aset pemerintah. Heru Nugroho dkk (2002) menyoroti kontroversi otonomi Perguruan Tinggi di UGM dan menganggap kebijakan itu telah mengkhianati ideologi negara dan UUD 1945.Sementara itu, kebijakan privatisasi pendidikan tinggi ini nampaknya akan terus dijalankan. Dua alasan yang sering dikemukakan adalah ketidak-mampuan pemerintah membiayai pendidikan tinggi dan kebutuhan untuk meningkatkan daya saing Perguruan Tinggi negeri. Namun tanpa perhitungan kuota yang tepat dan sistem penunjang aksesibilitas, elitisme dalam pendidikan tinggi akan mengancam proses demokratisasi di Indonesia. Pendidikan yang diharapkan menjadi jembatan bagi pemerolehan akses ekonomi, politik, hukum, dan budaya secara lebih merata menjadi roboh.Kekuatan globalisasi dan pusaran neo-liberalisme tidak bisa dibendung lagi. Ketidak-mampuan negara dalam membiayai pendidikan tinggi tidak seharusnya membuat Perguruan Tinggi negeri terperosok dalam jurang pencarian dana dan pengabaian mutu. Jati diri dan misi pendidikan tidak boleh dilupakan. Peran pendidikan sebagai jembatan bagi demokratisasi masyarakat harus tetap menjadi jiwa dalam setiap strategi menghadapi persaingan di tingkat nasional dan internasional.Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, siswa dan orang tua juga memprotes tingginya biaya pendidikan. Pada masa kampanye, para calon anggota legislatif dan calon presiden menjanjikan pendidikan bermutu yang gratis. Maka dari itu, sebagian masyarakat yang sudah terlanjur berharap pada pendidikan gratis untuk anak usia 7 sampai dengan 15 tahun akan merasa kecewa karena ternyata orang tua atau wali murid masih harus membayar iuran pendidikan. Bahkan dari tahun ke tahun, biaya pendidikan (baik berupa pungutan uang sekolah maupun biaya buku, seragam dan lain-lain) makin meningkat dan membebani masyarakat miskin. Masyarakat pun segera beranggapan, yang dilaksanakan hanya penggantian istilah dan permainan kata-kata (SPP ditiadakan, juga iuran BP3 tidak diberlakukan, namun ujung-ujungnya tetap saja masih ada biaya yang harus dikeluarkan). Bahkan BP3 dibubarkan karena persepsi masyarakat terhadap BP3 negatif akibat banyaknya pungutan oleh BP3. Kini ada Komite Sekolah yang secara normatif seharusnya juga melakukan fungsi kontrol terhadap sekolah termasuk dalam pengelolaan keuangan. Namun di banyak sekolah, siswa dan orang tua tidak melihat perbedaan signifikan antara BP3 dan Komite Sekolah.Berkurangnya tanggung jawab pemerintah dalam pembiayaan pendidikan mengarah pada gejala privatisasi pendidikan. Dikotomi sekolah negeri dan swasta menjadi kabur dan persaingan antar sekolah akan makin seru. Akibat langsung dari privatisasi pendidikan adalah segregasi siswa berdaasr status sosio-ekonomi. Atau kalaupun fenomena itu sudah terjadi di beberapa kota, pemisahan antara siswa dari keluarga miskin dan kaya akan makin jelas dan kukuh. Siswa-siswa dari keluarga miskin tidak akan mampu menanggung biaya yang makin mencekik sehingga mereka akan terpaksa mencari dan terkonsentrasi di sekolah-sekolah yang minimalis (baca: miskin).Sementara itu, siswa-siswa dari kelas menengah dan atas bebas memilih sekolah dengan sarana dan prasarana memadai. Selanjutnya, karena sekolah-sekolah ini mendapatkan iuran pendidikan yang memadai dari siswa, sekolah-sekolah ini juga akan mempunyai lebih banyak keleluasaan untuk makin membenahi diri dan meningkatkan mutu pendidikan. Jadi sekolah yang sudah baik akan menjadi (atau mempunyai kesempatan) untuk menjadi lebih baik. Sebaliknya, sekolah yang miskin akan makin terperosok dalam kebangkrutan.
perdagangan bebas adalah sebuah konsep ekonomi yang mengacu kepada Harmonized Commodity Description and Coding System (HS) dengan ketentuan dari World Customs Organization yang berpusat di Brussels, Belgium. penjualan produk antar negara tanpa pajak ekspor-impor atau hambatan perdagangan lainnya.
Perdagangan bebas dapat juga didefinisikan sebagai tidak adanya hambatan buatan (hambatan yang diterapkan pemerintah) dalam perdagangan antar individual-individual dan perusahaan-perusahaan yang berada di negara yang berbeda.
Perdagangan internasional sering dibatasi oleh berbagai pajak negara, biaya tambahan yang diterapkan pada barang ekspor impor, dan juga regulasi non tarif pada barang impor. Secara teori, semuha hambatan-hambatan inilah yang ditolak oleh perdagangan bebas. Namun dalam kenyataannya, perjanjian-perjanjian perdagangan yang didukung oleh penganut perdagangan bebas ini justru sebenarnya menciptakan hambatan baru kepada terciptanya pasar bebas. Perjanjian-perjanjian tersebut sering dikritik karena melindungi kepentingan perusahaan-perusahaan besar.
Dampaknya Terhadap Lulusan Sarjana Komputer
berdasarkan sebuah survey yang telah dilakukan oleh PT Work IT Out yang dipimpin oleh Heru Nugroho, meski masih banyak dibutuhkan di dalam negeri, peluang kerja bagi tenaga kerja TI untuk keluar negeri pun terbuka luas, Kesempatan tetap terbuka, apalagi didukung oleh faktor bergesernya dominasi India yang dikenal sebagai sumber SDM TI, tawaran gajinya pun cukup menggiurkan. Bayangkan, untuk tenaga kerja TI kelas pemula sampai menengah, perusahaan di luar negeri berani menawarkan upah sekitar US$ 400 sampai US$ 600 (sekitar Rp 3, 6 juta sampai Rp 5,5 juta) per bulan. Di kelas yang sama di dalam negeri, paling mereka hanya ditawarkan gaji sekitar Rp 900.000 sampai Rp 2,5 juta per bulannya. Itu baru yang pemula. Untuk yang sudah punya keahlian spesifik dan berpengalaman, di luar negeri gajinya bisa mencapai US$ 2.000 - 2.500 (sekitar Rp 18,2 juta sampai 22,7 juta) per bulan. Tiga kali lipat dibanding di dalam negeri yang pasarannya sekitar Rp 7 sampai 10 juta.
Bidang kerja TI yang terbuka pun beragam dan hampir sama dengan yang ada di lokalan. Kebetulan kebanyakan yang dicari adalah engineer untuk networking dan wireless serta programmer. Kelihatannya trend yang sedang terjadi adalah orang atau perusahaan ingin membuat perangkat networking seperti produk dari Cisco. Untuk itu memang dibutuhkan banyak orang yang dapat membuat program dalam level C, C++ dengan real-time OS dan memiliki latar belakang (pengetahuan) di bidang telekomunikasi dan networking. Lowongan webmaster, UNIX administrator pun tidak sedikit. Jenis-jenis lowongan pekerjaan yang ditawarkan sangat banyak . Hanya saja, tenaga TI yang memiliki kemampuan terspesialisasi seringkali dicari, sayangnya agak susah mencari tenaga kerja yang sudah spesifik ini, dan kalau saya tuliskan mungkin daftar lowongan tersebut sepanjang artikel ini.
Nah, kalau melihat situasi seperti itu akan sangat mengenaskan jika orang Indonesia yang bergerak di bidang Teknologi Informasi tidak bisa mendapatkan pekerjaan semacam itu. Masalahnya memang tidak mudah. Mungkin memang kemampuan hasil perguruan tinggi di Indonesia tidak memadai ? Berapa banyak sih perguruan tinggi di Indonesia yang mampu menghasilkan "software engineer" yang handal ? Mungkin di Indonesia baru mampu menghasilkan programmer kelas papan bawah ? Jika memang anda programmer atau software engineer yang handal, apakah anda mengenal istilah-istilah ini: lex, yacc, compiler construction, grammer, token, CMM, dan sebagainya ?
Sebagai gambaran bahwa kebutuhan terhadap tenaga IT di bidang industri software baik di luar negeri maupun di dalam negeri, adalah sebagai berikut : Tenaga IT di luar negeri, untuk tahun 2015, diperkirakan 3,3 juta lapangan kerja. Sedangkan Tenaga IT domestik, berdasarkan proyeksi pertumbuhan industri pada tahun 2010 target produksi 8.195.33 US $, dengan asumsi produktifitas 25.000 perorang, dibutuhkan 327.813 orang.
Selain contoh di atas, kita ambil negara lain seperti Jerman. Mengapa negara sekaliber Jerman mesti mendapat suplai tenaga TI dari luar negaranya ? Kurang sumber daya ? Dugaan itu ternyata betul. Perkembangan pesat teknologi informasi memang tidak hanya membuat ketar-ketir negara dunia ketiga, negara "dunia pertama" macam Jerman pun mulai merasakan akibatnya: kekurangan pakar TI yang tidak bisa didapatkan dari kalangan sendiri.
Maklum, jumlah yang dibutuhkan juga tak bisa dibilang sedikit. Tercatat saat ini sekitar 75.000 orang diperlukan oleh Jerman. Itu baru Jerman, belum negara lain. Tahukah Anda ternyata negara sebesar dan semaju Amerika Serikat pun masih mengimpor tenaga TI dari negara-negara di Asia, seperti India dan Cina. Nah, ini namanya peluang kan ?
Lowongan dari luar Indonesia untuk tenaga kerja TI kita banyak. yang tercatat pada kami bisa puluhan ribu lowongan," jelas Edi S. Tjahya, managing director JobsDB.com - sebuah portal informasi lowongan kerja. Lowongan sebanyak itu pun baru untuk wilayah Asia Pasifik. Secara kualitatif, kondisi sumber daya manusia Indonesia di bidang IT tidak kalah kualitas dibanding SDM dari negara seperti India sekalipun, papar Heru Nugroho, CEO PT Work IT Out, sebuah perusahaan penyalur tenaga kerja TI ke luar negeri.
http://id.wikipedia.org/wiki/Perdagangan_bebas