KAMPUNG NAGA
BAB I
WILAYAH KAMPUNG NAGA
Kampung Naga merupakan perkampungan tradisional dengan luas areal kurang lebih 4 ha. Kampung Naga terletak pada ruas jalan raya yang menghubungkan Tasikmalaya - Bandung melalui Garut, yaitu kurang lebih pada kilometer ke 30 ke arah Barat kota Tasikmalaya. Secara administratif Kampung Naga termasuk kampung Legok Dage Desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya.
Jarak tempuh dari Kota Tasikmalaya ke Kampung Naga kurang lebih 30 kilometer, sedangkan dari Kota Garut jaraknya 26 kilometer.
Untuk menuju Kampung Naga dari arah jalan raya Garut-Tasikmalaya harus menuruni tangga yang sudah ditembok (Sunda sengked) sampai ke tepi sungai Ciwulan dengan kemiringan sekitar 45 derajat dengan jarak kira-kira 500 meter. Kemudian melalui jalan setapak menyusuri sungai Ciwulan sampai ke dalam Kampung Naga. Menurut data dari Desa Neglasari, bentuk permukaan tanah di Kampung Naga berupa perbukitan dengan produktivitas tanah bisa dikatakan subur.
BAB II
SEJARAH DAN UPACARA ADAT KAMPUNG NAGA
Sejarah
Sejarah/asal usul Kampung Naga menurut salah satu versi nya bermula pada masa kewalian Syeh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, seorang abdinya yang bernama Singaparana ditugasi untuk menyebarkan agama Islam ke sebelah Barat. Kemudian ia sampai ke daerah Neglasari yang sekarang menjadi Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Di tempat tersebut, Singaparana oleh masyarakat Kampung Naga disebut Sembah Dalem Singaparana. Suatu hari ia mendapat ilapat atau petunjuk harus bersemedi. Dalam persemediannya Singaparana mendapat petunjuk, bahwa ia harus mendiami satu tempat yang sekarang disebut Kampung Naga.
Nenek moyang Kampung Naga yang paling berpengaruh dan berperan bagi masyarakat Kampung Naga "Sa Naga" yaitu Eyang Singaparana atau Sembah Dalem Singaparana yang disebut lagi dengan Eyang Galunggung, dimakamkan di sebelah Barat Kampung Naga. Makam ini dianggap oleh masyarakat Kampung Naga sebagai makam keramat yang selalu diziarahi pada saat diadakan upacara adat bagi semua keturunannya.
Namun kapan Eyang Singaparana meninggal, tidak diperoleh data yang pasti bahkan tidak seorang pun warga Kampung Naga yang mengetahuinya. Menurut kepercayaan yang mereka warisi secara turun temurun, nenek moyang masyarakat Kampung Naga tidak meninggal dunia melainkan raib tanpa meninggalkan jasad. Dan di tempat itulah masyarakat Kampung Naga menganggapnya sebagai makam, dengan memberikan tanda atau petunjuk kepada keturunan Masyarakat Kampung Naga.
Ada sejumlah nama para leluhur masyarakat Kampung Naga yang dihormati seperti: Pangeran Kudratullah, dimakamkan di Gadog Kabupaten Garut, seorang yang dipandang sangat menguasai pengetahuan Agama Islam. Raden Kagok Katalayah Nu Lencing Sang Seda Sakti, dimakamkan di Taraju, Kabupaten Tasikmalaya yang mengusai ilmu kekebalan "kewedukan". Ratu Ineng Kudratullah atau disebut Eyang Mudik Batara Karang, dimakamkan di Karangnunggal, Kabupaten Tasikmalaya, menguasai ilmu kekuatan fisik "kabedasan". Pangeran Mangkubawang, dimakamkan di Mataram Yogyakarta menguasai ilmu kepandaian yang bersifat kedunawian atau kekayaan. Sunan Gunungjati Kalijaga, dimakamkan di Cirebon menguasai ilmu pengetahuan mengenai bidang pertanian.
Upacara adat
Menyepi
Upacara menyepi dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga pada hari selasa, rabu, dan hari sabtu. Upacara ini menurut pandangan masyarakat Kampung Naga sangat penting dan wajib dilaksanakan, tanpa kecuali baik laki-laki maupun perempuan. Oleh sebab itu jika ada upacara tersebut di undurkan atau dipercepat waktu pelaksanaannya. Pelaksanaan upacara menyepi diserahkan pada masing-masing orang, karena pada dasarnya merupakan usaha menghindari pembicaraan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan adat istiadat. Melihat kepatuhan warga Naga terhadap aturan adat, selain karena penghormatan kepada leluhurnya juga untuk menjaga amanat dan wasiat yang bila dilanggar dikuatirkan akan menimbulkan malapetaka.
Hajat Sasih
Upacara Hajat Sasih dilaksanakan oleh seluruh warga adat Sa-Naga, baik yang bertempat tinggal di Kampung Naga maupun di luar Kampung Naga. Maksud dan tujuan dari upacara ini adalah untuk memohon berkah dan keselamatan kepada leluhur Kampung Naga, Eyang Singaparna serta menyatakan rasa syukur kepada Tuhan yang mahaesa atas segala nikmat yang telah diberikannya kepada warga sebagai umat-Nya.
Upacara Hajat Sasih diselenggarakan pada bulan-bulan dengan tanggal-tanggal sebagai berikut:
- Bulan Muharam (Muharram) pada tanggal 26, 27, 28
- Bulan Maulud (Rabiul Awal) pada tanggal 12, 13, 14
- Bulan Rewah (Sya'ban) pada tanggal 16, 17, 18
- Bulan Syawal (Syawal) pada tanggal 14, 15, 16
- Bulan Rayagung (Dzulkaidah) pada tanggal 10, 11, 12
Pemilihan tanggal dan bulan untuk pelaksanaan upacara Hajat Sasih sengaja dilakukan bertepatan dengan hari-hari besar agama Islam. Penyesuaian waktu tersebut bertujuan agar keduanya dapat dilaksanakan sekaligus, sehingga ketentuan adat dan akidah agama islam dapat dijalankan secara harmonis.
Upacara Hajat Sasih merupakan upacara ziarah dan membersihkan makam. Sebelumnya para peserta upacara harus melaksanakan beberapa tahap upacara. Mereka harus mandi dan membersihkan diri dari segala kotoran di sungai Ciwulan. Upacara ini disebut beberesih atau susuci. Selesai mandi mereka berwudlu di tempat itu juga kemudian mengenakan pakaian khusus. Secara teratur mereka berjalan menuju mesjid. Sebelum masuk mereka mencuci kaki terlabih dahulu dan masuk kedalam sembari menganggukan kepala dan mengangkat kedua belah tangan. Hal itu dilakukan sebagai tanda penghormatan dan merendahkan diri, karena mesjid merupakantempat beribadah dan suci. Kemudian masing-masing mengambil sapu lidi yang telah tersedia di sana dan duduk sambil memegang sapu lidi tersebut.
Adapun kuncen, lebe, dan punduh / Tua kampung selesai mandi kemudian berwudlu dan mengenakan pakaian upacara mereka tidak menuju ke mesjid, melainkan ke Bumi Ageung. Di Bumi Ageung ini mereka menyiapkan lamareun dan parukuyan untuk nanti di bawa ke makam. Setelah siap kemudian mereka keluar. Lebe membawa lamareun dan punduh membawa parukuyan menuju makam. Para peserta yang berada di dalam mesjid keluar dan mengikuti kuncen, lebe, dan punduh satu persatu. Mereka berjalan beriringan sambil masing-masing membawa sapu lidi. Ketika melewati pintu gerbang makam yang di tandai oleh batu besar, masing-masing peserta menundukan kepala sebagai penghormatan kepada makam Eyang Singaparna.
Setibanya di makam selain kuncen tidak ada yang masuk ke dalamnya. Adapun Lebe dan Punduh setelah menyerahkan lamareun dan parakuyan kepada kuncen kemudian keluar lagi tinggal bersama para peserta upacara yang lain. Kuncen membakar kemenyan untuk unjuk-unjuk (meminta izin ) kepada Eyang Singaparna. Ia melakukan unjuk-unjuk sambil menghadap kesebelah barat, kearah makam. Arah barat artinya menunjuk ke arah kiblat. Setelah kuncen melakukan unjuk-unjuk, kemudian ia mempersilahkan para peserta memulai membersihkan makam keramat bersama-sama. Setelah membersihkan makam, kuncen dan para peserta duduk bersila mengelilingi makam. Masing-masing berdoa dalam hati untukmemohon keselamatan, kesejahteraan, dan kehendak masing-masing peserta. Setelah itu kuncen mempersilakan Lebe untuk memimpin pembacaan ayat-ayat Suci Al-Quran dan diakhri dengan doa bersama.
Selesai berdoa, para peserta secara bergiliran bersalaman dengan kuncen. Mereka menghampiri kuncen dengan cara berjalan ngengsod. Setelah bersalaman para peserta keluar dari makam, diikuti oleh punduh, lebe dan kuncen. Parukuyan dan sapu lidi disimpan di "para" mesjid. Sebelum disimpan sapu lidi tersebut dicuci oleh masing-masing peserta upacara di sungai Ciwulan, sedangkan lemareun disimpan diBumi Ageung.
Acara selnjutnya diadakan di mesjid. Setelah para peserta upacara masuk dan duduk di dalam mesjid, kemudian datanglah seorang wanita yang disebut patunggon sambil membawa air di dalam kendi, kemudian memberikannya kepada kuncen. Wanita lain datang membawa nasi tumpeng dan meletakannya ditengah-tengah. Setelah wanita tersebut keluar, barulah kuncen berkumur-kumur dengan air kendi dan membakar dengan kemenyan. Ia mengucapkan Ijab kabul sebagai pembukaan. Selanjutnya lebe membacakan doanya setelah ia berkumur-kumur terlebih dahulu dengan air yang sama dari kendi. Pembacaan doa diakhiri dengan ucapan amin dan pembacaan Al-fatihah. Maka berakhirlah pesta upacara Hajat Sasih tersebut. Usai upacara dilanjutkan dengan makan nasi tumpeng bersama-sama. Nasi tumpeng ini ada yang langsung dimakan di mesjid, ada pula yang dibawa pulang kerumah untuk dimakan bersama keluarga mereka.
Perkawinan
Upacara perkawinan bagi masyarakat Kampung Naga adalah upacara yang dilakukan setelah selesainya akad nikah. adapun tahap-tahap upacara tersebut adalah sebagai berikut: upacara sawer, nincak endog (menginjak telur), buka pintu, ngariung (berkumpul), ngampar (berhamparan), dan diakhiri dengan munjungan.
Upacara sawer dilakukan selesai akad nikah, pasangan pengantin dibawa ketempat panyaweran, tepat di muka pintu. mereka dipayungi dan tukang sawer berdiri di hadapan kedua pengantin. panyawer mengucapkan ijab kabul, dilanjutkan dengan melantunkan syair sawer. ketika melantunkan syair sawer, penyawer menyelinginya dengan menaburkan beras, irisan kunir, dan uang logam ke arah pengantin. Anak-anak yang bergerombol di belakang pengantin saling berebut memungut uang sawer. isi syair sawer berupa nasihat kepada pasangan pengantin baru.
Usai upacara sawer dilanjutkan dengan upacara nincak endog. endog (telur) disimpan di atas golodog dan mempelai laki-laki menginjaknya. Kemudian mempelai perempuan mencuci kaki mempelai laki-laki dengan air kendi. Setelah itu mempelai perempuan masuk ke dalam rumah, sedangkan mempelai laki-laki berdiri di muka pintu untuk melaksanakan upacara buka pintu. Dalam upacara buka pintu terjadi tanya jawab antara kedua mempelai yang diwakili oleh masing-masing pendampingnya dengan cara dilagukan. Sebagai pembuka mempelai laki-laki mengucapkan salam 'Assalammu'alaikum Wr. Wb.' yang kemudian dijawab oleh mempelai perempuan 'Wassalamu'alaikum Wr. Wb.' setelah tanya jawab selesai pintu pun dibuka dan selesailah upacara buka pintu.
Setelah upacara buka pintu dilaksanakan, dilanjutkan dengan upacara ngampar, dan munjungan. Ketiga upacara terakhir ini hanya ada di masyarakat Kampung Naga. Upacara riungan adalah upacara yang hanya dihadiri oleh orang tua kedua mempelai, kerabat dekat, sesepuh, dan kuncen. Adapun kedua mempelai duduk berhadapan, setelah semua peserta hadir, kasur yang akan dipakai pengantin diletakan di depan kuncen. Kuncen mengucapakan kata-kata pembukaan dilanjutkan dengan pembacaan doa sambil membakar kemenyan. Kasur kemudian di angkat oleh beberapa orang tepat diatas asap kemenyan.
Usai acara tersebut dilanjutkan dengan acara munjungan. kedua mempelai bersujud sungkem kepada kedua orang tua mereka, sesepuh, kerabat dekat, dan kuncen.
Akhirnya selesailah rangkaian upacara perkawinan di atas. Sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada para undangan, tuan rumah membagikan makanan kepada mereka. Masing-masing mendapatkan boboko (bakul) yang berisi nasi dengan lauk pauknya dan rigen yang berisi opak, wajit, ranginang, dan pisang.
Beberapa hari setelah perkawinan, kedua mempelai wajib berkunjung kepada saudara-saudaranya, baik dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan. Maksudnya untuk menyampaikan ucapan terima kasih atas bantuan mereka selama acara perkawinan yang telah lalu. Biasanya sambil berkunjung kedua mempelai membawa nasi dengan lauk pauknya. Usai beramah tamah, ketika kedua mempelai berpamitan akan pulang, maka pihak keluarga yang dikunjungi memberikan hadiah seperti peralatan untuk keperluan rumah tangga mereka.
BAB III
CARA HIDUP MASYARAKAT DI KAMPUNG NAGA
Kampung Naga dihuni oleh sekelompok masyarakat yang sangat kuat dalam memegang adat istiadat peninggalan Ieluhumya. Hal ini akan terlihat jelas perbedaannya bila dibandingkan dengan masyarakat lain di luar Kampung Naga. Masyarakat Kampung Naga hidup pada suatu tatanan yang dikondisikan dalam suasana kesahajaan dan lingkungan kearifan tradisional yang lekat.
Kehidupan mereka dapat berbaur dengan masyrakat modern, beragama Islam, tetapi masih kuat memelihara Adat Istiadat leluhurnya. Seperti berbagai upacara adat, upacara hari-hari besr Islam misalnya Upacara bulan Mulud atau Alif dengan melaksanakan Pedaran (pembacaan Sejarah Nenek Moyang) Proses ini dimulai dengan mandi di Sungai Ciwulan dan Wisatawan boleh mengikuti acara tersebut dengan syarat harus patuh pada aturan disana.
Bentuk bangunan di Kampung Naga sama baik rumah, mesjid, patemon (balai pertemuan) dan lumbung padi. Atapnya terbuat dari daun rumbia, daun kelapa, atau injuk sebagi penutup bumbungan. Dinding rumah dan bangunan lainnya, terbuat dari anyaman bambu (bilik). Sementara itu pintu bangunan terbuat dari serat rotan dan semua bangunan menghadap Utara atau Selatan. Selain itu tumpukan batu yang tersusun rapi dengan tata letak dan bahan alami merupakan ciri khas gara arsitektur dan ornamen Perkampungan Naga.
Dalam kehidupan masyarakat Kampung Naga, tokoh masyarakat menduduki posisi yang penting, oleh karena ia dianggap orang serba tahu dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap masyarakat adat. Sehingga segala tindak-tanduknya merupakan pola aturan patut diteladani oleh masyarakat. Mengingat kedudukan yang penting itulah tokoh masyarakat senantiasa dituntut berpartisipasi dalam pembinaan kesadaran hukum masyarakat adat.
Partisipasi tokoh masyarakat sangat vital dalam membina kesadaran masyarakat adat kampung naga, hal ini dapat dijelaskan pada sistem kemasyarakatan kampung adat sebagai berikut:
a. Sistem pelapisan sosial
Hidup masyarakat Kampung Naga berpedoman kepada adat istiadat, pantangan, norma-norma atau hukum adat yang berlaku semenjak para leluhur mereka hidup. Pedoman itu merupakan pengaturan dan pengontrolan hidup yang dipegang teguh oleh mereka dan berlaku dalam segala aspek kehidupan masyarakat Kampung Naga. Mereka tidak mempersoalkan sistem pelapisan sosial. Mereka beranggapan semua insan mempunyai kedudukan yang sama, cara berpakaian yang sama dan berbagai kepemimpinan benda yang sederhana pula.
Yang jelas bahwa kepemilikan benda-benda yang bernilai modern tersebut hanya menunjukkan adanya kenaikan/peningkatan kesejahteraan mereka. Satu hal yang perlu dihormati, bahwa tingkat ekonomi seseorang di dalam masyarakat Kampung Naga tidak pernah menjadi ukuran, dan karena kekayaan/kepemilikkan barang-barang mewah tidak menjadikan seseorang naik pada lapisan tertentu. Lapisan Sosial yang mendapatkan pengakuan tinggi dari masyarakat Kampung Naga tidak lain adalah bagaimana seseorang dalam kehidupan sehari-harinya dan kepatuhan pada adat seperti Kuncen, Lebe/Amil, Punduh/Tua Kampung, serta beberapa orang yang dipercaya untuk membantu mengurus masalah upacara dan adat istiadat. Inilah kesepakatan bersama dan ketentuan dari nenek moyang mereka yang selalu dipatuhinya.
Kuncen adalah kepala adat yang dipilih menurut adat dan berlaku secara turun-temurun, dan hanya boleh dijabat oleh seorang laki-laki. Ia merupakan sesepuh Kampung adat yang sangat dihormati oleh masyarakat, dan segala ucapannya yang berhubungan dengan adat istiadat selalu dipatuhinya. Menurut anggapan warga, kuncen adalah orang yang memiliki kelebihan, baik pengetahuan maupun pengalaman dalam masalah adat. Kuncen dibantu oleh seorang Lebe/Amil dan Punduh/Tua Kampung yang dipilih secara generatif atau keturunan. Tugas Punduh atau Tua Kampung mempunyai tugas sebagai penghubung antara kuncen dengan masyarakat.
Selain itu ada juga orang yang mendapat pengakuan tinggi dari masyarakat yaitu pejabat pemerintah yang mengurus masalah kehidupan sehari-hari warga dan khususnya yang berhubungan dengan sistem pemerintahan desa. Mereka mendapat tempat yang tinggi di mata masyarakat dan dalam upacara adat mereka dipandang sebagai sesepuh kampung.
b. Sistem Kepemimpinan
Kampung Naga sebagai salah satu Kampung Adat yang ada di jawa Barat memiliki dua bentuk sistem kepemimpinan, yaitu kepemimpinan formal dan kepemimpinan informal. Kepemimpinan Formal adalah kepemimpinan yang dipilih atas dasar pemilihan rakyat dan mendapat legitimasi dari pemerintah.
Kepemimpinan formal di Kampung Naga dipandang oleh Ketua RW dan Ketua RT yang langsung berhubungan dengan sistem pemerintahan Sedangkan kepemimpinan informal adalah kepemimpinan yang ditentukan menurut ketentuan adat. Pemimpin adat adalah seseorang yang biasa disebut kuncen. Sebagai orang yang dituakan, perkataan kuncen sangat didengar dan dipatuhi oleh masyarakat Kampung adat. Kuncen memiliki hak khusus dalam menerima tamu dan memberi petunjuk-petunjuk khusus dalam kehidupan adat istiadat Kampung Naga.
Peranan kuncen sebagai pemimpin informal di Kampung Naga terlihat konkrit ketika memberi nasihat, saran, dan pendapat serta bagaimana ia mengendalikan perilaku masyarakat Kampung Naga. Kepatuhan warga kepada kuncen karena ia dipandang sebagai pengemban amanat leluhur, hingga apa yang diucapkannya akan dipatuhi termasuk larangan untuk tidak membicarakan sejarah, asal usul Kampung Naga dan tradisi pada hari-hari tertentu. Dalam pelaksanaan kehidupan sehari-harinya kedua bentuk sistem kepemimpinan di Kampung Adat Naga khususnya dan masyarakat Desa Neglasari umumnya.
c. Sistem Kekerabatan
Keluarga inti pada mayarakat Kampung Naga terdiri atas ayah, ibu, dan anak-anak yang belum menikah. Beberapa anak yang sudah menikah ada juga yang masih tinggal bersama orang tua mereka karena mereka ini belum siap untuk pindah atau belum memiliki rumah sendiri. Setiap individu yang hidup dalam suatu masyarakat, secara biologis menyebut kerabat kepada orang yang mempunyai hubungan darah, baik melalui ayah maupun ibu.
Masyarakat Kampung Naga yang diperluas lagi dengan warganya yang tinggal di luar wilayah Kampung Naga, masih terikat oleh adat Sa Nega. Mereka dengan kerabatnya yang secara biologis masih terikat pada adat Kampung Naga selalu melakukan kegiatan bersama dan ketentuan tersebut dipatuhi oleh seluruh warga Sa Naga. Pada hakekatnya, berbagai kegiatan dan upacara yang dilakukan mampu menyatukan mereka dalam satu ikatan kekeluargaan dan satu keturunan.
Berbicara masalah pembagian hak waris, terdapat dua kebiasaan. Sebagian masyarakat berpatokan pada hukum atau syariat agama islam, yaitu hak waris untuk laki-laki dan perempuan adalah dua berbanding satu. Akan tetapi sebagaian warga lainnya yang teguh mempertahankan adat peninggalan leluhurnya membagi warisan berdasarkan hukum adat yang tidak membedakan hak antara laki-laki dan perempuan.
Tokoh masyarakat dalam rangka membimbing warga masyarakatnya sangat luwes dan rajin menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan adat yang dianut oleh masyarakat adat kampung naga tersebut, sehingga tergerak hati nuraninya warga kampung naga untuk mengikuti aturan-aturan yang ada di kampung naga sehingga menimbulkan peningkatkan kepercayaan dari masyarakat adat. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Pengetahuan
Tokoh masyarakat dalam membina warganya agar dapat mengikuti ketentuan hukum adat kampung naga, dengan jalan:
1. Memberikan contoh yang baik kepada masyarakat tentang pelaksanaan adat nenek moyang yang dimiliki kampung naga.
2. Memberikan penjelasan kepada masyarakat adat kampung naga bagaimana cara melaksanakan ketentuan adat yang berlaku di kampung naga.
3. Menginformasikan kepada warga masyarakat adat kampung naga bila tidak melaksanakan ketentuan adat yang berlaku
b) Pemahaman
Tokoh masyarakat kampung naga berusaha menyampaikan persepsi tentang adat-adat yang ada dan aturan yang berlaku di kampung naga, sehingga pemahaman warga masyarakat terhadap adat yang dianutnya seragam dan kuat.
Pemahaman masyarakat adat kampung Naga dapat dilihat dari kehidupan sehari-hari mereka masih tetap melaksanakan adat leluhurnya secara taat dan patuh, misalnya: Misalnya tata cara membangun dan bentuk rumah, letak, arah rumah, pakaian upacara, kesenian, dan sebagainya. Bentuk rumah dan letak rumah yang ada di kampung Naga semuanya sama.
Di samping itu dalam pelaksanaan upacara adat semua warga dapat mengikuti dengan hidmat, baik upacara menyepi/hari tabu, hajat sasih maupun upacara perkawinan sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh Ketua Adat.
c) Ketaatan
Ketaatan warga kampung Naga terhadap hukum adat sangat kuat, hal ini dapat dilihat dari pelaksanaan kehidupan sehari-hari seperti tabu, pantangan atau pamali bagi masyarakat Kampung Naga masih dilaksanakan dengan patuh khususnya dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang berkenaan dengan aktivitas kehidupannya, pantangan atau pamali merupakan ketentuan hukum yang tidak tertulis yang mereka junjung tinggi dan dipatuhi oleh setiap orang. Misalnya tata cara membangun dan bentuk rumah, letak, arah rumah, pakaian upacara, kesenian, dan sebagainya.
Ketaatan warga ini diawali oleh Tokoh masyarakat dalam membina warganya dengan memberikan contoh yang baik dalam kehidupan sehari-hari, dan memberikan sanksi kepada warga masyarakat secara bertahap. Adapun sanksi yang ada pada masyarakat kampung naga adalah ada dua.
1) Sanksi tertulis
Bila seseorang atau warga masyarakatnya yang melanggar salah satu adat (yang dilarang) yang ada di kampung naga misalnya: upacara menyepi/hari tabu, upacara perkawinan,upacara hajat sasih, maka tindakan yang dilakukan oleh Ketua Adat, pertama dengan cara menegurnya, kedua dengan cara memberikan surat yang isinya menyuruh keluar/pindah dari kampung naga untuk selama-lamanya dan sampai kapan pun tidak bisa mengikuti upacara adat kampung naga.
2) Sanksi tak tertulis
Ada beberapa sanksi yang tak tertulis yang berlaku di kampung naga antara lain:
Amanat
Amanat artinya pesan yang disampaikan dari leluhurnya/nenek moyangnya kepada seseorang yang dipercaya. Ajaran-ajarannya agar dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku di adat kampung naga.
Wasiat
Wasiat artinya pesan yang diberikan dari leluhurnya kepada seseorang yang dipercaya baik berupa barang atau mantra-mantra agar dilestarikan.
Akibat. Akibat artinya sesuatu yang terjadi yang disebabkan oleh suatu kejadian atau masalah imbalan dari suatu perbuatan yang dilarang.
Dari penjelasan-penjelasan tersebut di atas hukum adat merupakan salah satu aturan hukum yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat dan selalu dilaksanakan dalam pergaulan kehidupannya. Mengingat pentingya hukum adat tersebut bagi kehidupan masyarakat, maka aturan hukum tersebut selalu dipertahankan dan dijunjung tinggi serta dilaksanakan secara turun temurun dari generasi ke genarasi seperti pada masyarakat adat kampung naga.
Peran serta tokoh-tokoh masyarakat Kampung Naga seperti telah dijelaskan di atas tidak dilakukan secara insidental atau temporer, tetapi benar-benar dilakukan secara kontinyu dan khusus, sehingga pembinaan kesadaran hukum terarah dan berencana.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas bila dihubungkan dengan teori menurut Abdillah Hanafi (1987:113-114) tokoh masyarakat memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. ”memiliki hubungan sosial lebih luas daripada para pengikutnya
2. memiliki keahlian atau pengetahuan tertentu melebihi orang kebanyakan, terutama pengikutnya.
3. tidak menyimpan pengetahuan dan keahliannya itu untuk dirinya sendiri, melainkan berusaha untuk menyebarkan kepada orang lain”.
Tokoh masyarakat kampung naga memiliki hubungan sosial lebih luas daripada masyarakatnya, hal ini dapat dilihat dari pengetahuan, pemahaman dan ketaatan tokoh masyarakat adat terhadap hukum adat yang berlaku di kampung naga, mereka diyakini oleh masyarakat setempat tokoh masyarakat khususnya Pemimpin adat adalah seseorang yang biasa disebut kuncen,sebagai orang yang dituakan, perkataan kuncen sangat didengar dan dipatuhi oleh masyarakat Kampung adat. Kuncen memiliki hak khusus dalam menerima tamu dan memberi petunjuk-petunjuk khusus dalam kehidupan adat istiadat Kampung Naga.
Peranan kuncen sebagai pemimpin informal di Kampung Naga terlihat konkrit ketika memberi nasihat, saran, dan pendapat serta bagaimana ia mengendalikan perilaku masyarakat Kampung Naga. Kepatuhan warga kepada kuncen karena ia dipandang sebagai pengemban amanat leluhur, hingga apa yang diucapkannya akan dipatuhi termasuk larangan untuk tidak membicarakan sejarah, asal usul Kampung Naga dan tradisi pada hari-hari tertentu.
Dari penjelasan tentang tokoh masyarakat adat dan penjelasan teori tersebut dapat disimpulkan bahwa tokoh masyarakat adat kampung Naga telah sesuai dengan kriteria teori yaitu, memiliki keahlian atau pengetahuan tertentu melebihi orang kebanyakan, terutama pengikutnya, tidak menyimpan pengetahuan dan keahliannya itu untuk dirinya sendiri, melainkan berusaha untuk menyebarkan kepada orang lain, sehingga partisipasi tokoh masyarakat dalam membina kesadaran masyarakat terhadap hukum adat di kampung Naga dapat dilakukan dengan baik, hal ini dapat dilihat dari keberlangsungan hukum adat yang masih berlaku sampai saat ini.
BAB IV
PERMASALAHAN DAN PENELESAIANNYA
Permasalahan
Di dalam mencapai setiap tujuan tak terlepas dari adanya hambatan-hambatan, sehingga dengan adanya hambatan-hambatan tersebut seringkali mengakibatkan adanya kegagalan. Hambatan-hambatan tersebut, dapat disebabkan oleh berbagai faktor, apakah itu dari rencana yang telah dirumuskan, dari pelaku pelaksana atau dari obyek yang menjadi sasaran dari tujuan tersebut. Demikian pula pada masyarakat adat kampung naga kesulitan yang dihadapi oleh tokoh-tokoh masyarakat adat tersebut ternyata datangnya dari pihak masyarakat sendiri dengan adanya gejala masyarakat yang menuju kepada kehidupan kota, dimana sifat rasa kekeluargaannya semakin memudar dan tumbuhnya sifat individualistis dan konsumerisme.
Hal tersebut sesuai dengan yang dijelaskan oleh Koentjaraningrat (1983 :45) tentang beberapa sifat masyarakat yang dapat menghambat kegiatan tokoh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas kemasyarkatan, sebagai berikut :
1. Sifat dan mentalitas yang meremehkan mutu.
2. Sifat dan mentalitas yang suka menerobos.
3. Sifat dan mentalitas yang tidak percaya pada diri sendiri.
4. Sifat dan mentalitas yang tidak berdisiplin murni.
5. Sifat dan mentalitas yang suka mengabaikan tanggung jawab.
Bila dikaitkan dengan terori tersebut masyarakat adat kampung naga yang menginginkan kehidupan yang lebih baik dengan berkehidupan seperti orang kota atau modern, memiliki sifat dan mentalitas yang tidak percaya pada diri sendiri.
Penyelesaian
Setiap peraturan yang berlaku bagi masyarakat, baru akan dapat ditaati dan dilaksanakan oleh masyarakat adat, apabila peraturan tersebut benar-benar diketahui, dipahami dan dihayati oleh masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu agar setiap peraturan dapat diketahui dan dilaksanakan oleh masyarakat, maka perlu adanya penerangan dan penyuluhan hukum dari tokoh-tokoh masyarakat.
Penerangan hukum terhadap masyarakat adat perlu dilakukan secara koordinatif dan terpadu oleh tokoh-tokoh masyarakat dalam hal ini dilakukan oleh Ketua Adat, Wakil Ketua Adat dan Punduh. Hal ini dapat dilihat dari setiap pelaksanaan keseharian di masyarakat dan upacara adat yang dilakukan oleh Tokoh masyarakat adat setiap waktu yang bertepatan dengan kegiatan adat kampung naga seperti Menyepi/hari tabu, Upacara Hajat Sasih, dan Upaca Perkawinan, selalu melaksanakannya dengan penuh hidmat, terkadang warga masyarakat dari luar kampung naga pun banyak yang mengikuti.
Namun demikian walaupun sifat dari aturan hukum adat bersifat mengatur agar orang-orang di dalam masyarakat selau tunduk dan taat kepada hukum, sehingga terwujud kehidupan masyarakat yang rukun dan damai. Tetapi kadang-kadang masih ada orang yang melanggar ketentuan hukum adat tersebut. Pelanggaran terhadap ketentuan hukum oleh anggota masyarakat adat tersebut, berakibat merugikan orang lain atau kelestarian hukum itu sendiri. Demikian pula pada masyarakat kampung naga masih ada aja yang melanggar aturan adat.
Terhadap warga masyarakat yang melanggar hukum adat, tidak sekaligus masyarakat itu diberi hukuman yang berupa pengusiran dari kampung naga tetapi dilakukan secara bertahap dengan jalan memberikan nasehat terlebih dahulu, bila tidak juga jera maka masyarakat tersebut harus keluar dari kampung naga.
Tidak ada suatu perbuatan yang baik yang tidak akan mendatangkan hasil, seperti halnya dalam pembinaan kesadaran hukum masyarakat adat kampung naga. Walaupun tidak sepenuhnya hasil perbuatan itu akan tetap nampak ada. Demikian juga usaha-usaha tokoh masyarakat terhadap masyarakatnya, mendatangkan hasil yang baik, hal ini dapat dilihat dari kegiatan sehari-hari masyarakat adat kampung adat tergolong orang yang patuh dan taat pada aturan hukum yang diwariskan dari leluhurnya.
BAB V
PENUTUP
Saat ini kita semua berada dalam era modernisasi dengan segala aspek negatif maupun positifnya. Era modernisasi tidak bisa dihindari, cepat atau lambat pasti mempunyai pengaruh dan menimbulkan berbagai perubahan kehidupan sosial, tidak terkecuali di pelosok desa terpencil sekalipun. Permasalahannya sekarang, bagaimana nilai-nilai baru (budaya kiriman dari luar) disikapi secara arif dan bijaksana, kemudian diselaraskan dengan nilai-nilai budaya tradisional yang ada di Tatar Sunda.
Meskipun hal yang dilakukan oleh ketua adat disana terkadang cukup bisa dibilang berlebihan seperti menolak listrik dan konversi gas dari minyak tanah. Bahkan untuk menyatakan kekecewaannya pada pemerintah yang tidak mau mengerti mengenai aturan adat yang berlaku disana, kampong naga sempat menutup diri dan tidak ingin dikunjungi turis domestic maupun local beberapa waktu lalu. Tapi semua yang dilakukan adalah untuk memelihara keberadaan adat kampong naga yang sudah dijaga dari bergenarasi lalu.
SUMBER :
http://intanghina.wordpress.com/2008/05/31/partisipasi-tokoh-masyarakat-dalam-membina-kesadaran-masyarakat-terhadap-hukum-adat-di-kampung-naga/
http://www.antara.co.id/view/?i=1243380621&c=NAS&s=UMM
http://www.ahmadheryawan.com/lintas-kabupaten-kota/kabupaten-tasikmalaya/3805-kampung-naga-ditutup-bagi-wisatawan-.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Upacara_Adat_di_Kampung_Naga
http://m.tasikmalayakab.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=305&Itemid=33
Tidak ada komentar:
Posting Komentar